Kebinékaan Bahasa: Pedulikah Kita?
Penafian: tulisan ini diambil dari laman Belajar Jawa Kuna di Facebook atas persetujuan sang penulis.
[caption id="" align="aligncenter" width="720"] Masih mampukah Anda membaca dan menulis dalam bahasa ibu Anda?[/caption]
Selamat Hari Bahasa Ibu! Hari ini, 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu. Walaupun di Indonesia Hari Bahasa Ibu belum sefénoménal Hari Kasih Sayang seminggu yang lalu, Indonesia sesungguhnya sadar ia membutuhkannya.
Sebagaimana namanya, Hari Bahasa Ibu yang digagas oleh UNESCO ini mengangkat tema bahasa ibu (mother tongue). Pada hari ini, penghuni bumi diajak mêlèk akan pentingnya menjaga keanekaragaman bahasa dan budaya sejagat melalui ajakan pelestarian dan pelindungannya.
Ada 7.000-an (7.102 bahasa menurut Ethnologue per 2015) bahasa di dunia yang masih hidup sampai saat ini. Diperkirakan, setengah angka tersebut adalah jumlah bahasa yang akan bertahan hingga tahun 2100. Dengan laju satu bahasa punah setiap dua minggu, itu artinya 3500-an bahasa akan pupus seiring bergulirnya waktu menuju akhir abad ke-21.
Saat ini 719 bahasa pribumi menjadi bahasa ibu penduduk Indonesia. Angka ini mencerminkan sekitar 10% total bahasa di dunia dan membawa Indonesia ke peringkat kedua sebagai negeri dengan jumlah bahasa pribumi terbanyak di dunia, setelah Papua Nugini. Namun demikian, lepas dari betapa kayanya negeri ini akan bahasa pribumi, UNESCO mencatat sudah ada 143 bahasa masuk dalam kategori mengkhawatirkan. 10 diantarnya bahkan sudah punah. Bahasa (1) Hukumina, (2) Kayeli, (3) Mapia, (4) Moksela, (5) Naka'ela, (6) Nila, (7) Palumata, (8) Piru, (9) Tandia, dan (10) Te'un adalah jajaran bahasa asli Indonesia yang sudah "tertidur" bersama penutur-penutur terakhirnya yang berusia senja. Dalam kasus bahasa-bahasa ini, regenerasi penutur fasih gagal sehingga terjadi kepunahan apalagi tidak dibarengi tradisi tulis.
Kenyataan ini juga semakin memedihkan karena kecenderungan pihak yang memiliki otoritas melestarikan bahasa adalah menganggap pelestarian bahasa sama dengan membiarkan bahasa berkembang sendiri. Pengembangan dan pemertahanan bahasa pribumi belum menjadi keutamaan padahal konsep-konsep baru terus masuk ke dalam negeri ini, dan untuk bertahan bahasa harus mampu dituliskan. Sebagian besar bahasa pribumi Indonesia masih dibiarkan sebagai bahasa lisan dan belum memiliki ejaan baku untuk tata tulisnya. Peradaban-peradaban besar di dunia bermula dari tradisi tulis, bukan?
Tanpa tindakan progresif, 709 bahasa-bahasa pribumi sisanya sama saja sedang menunggu ajalnya tiba. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk bahasa-bahasa berpenutur besar sekalipun seperti bahasa Jawa, yang sudah menunjukkan gejala tergeserkan oleh bahasa yang lebih menguntungkan secara ekonomi (Cohn & Ravindranath 2014: 138). Sebuah kenyataan bahwa bahasa Jawa dan bahasa-bahasa pribumi umumnya tak memiliki signifikansi di wilayahnya sendiri adalah yang mendorong tergesernya bahasa-bahasa ini dari komunikasi sehari-hari. Orang tidak akan merasa berkewajiban berbahasa pribumi jika itu memang tidak signifikan bagi mereka, apalagi bahasa lain sudah menggurita menawarkan masa depan prospektif.
Kembali ke Hari Bahasa Ibu, hari peringatan ini tidak hadir begitu saja. Ia lahir atas keprihatinan akan terpinggirkannya bahasa pribumi akibat dominasi bahasa lain. UNESCO mengangkat tanggal 21 Februari dari peristiwa tahun 1952 di Bangladesh. Saat itu mahasiswa berbagai universitas memperjuangkan hak-hak berbahasa agar bahasa dan aksara Benggala menjadi alat komunikasi resmi di wilayah Bangladesh. Kala itu hanya bahasa dan aksara Urdu (asli Pakistan) yang diakui resmi oleh negara sedangkan bahasa dan aksara pribumi Bangladesh hampir-hampir tidak berperan dalam urusan formal di wilayahnya. Peristiwa ini berujung ditembakmatinya para pendukung bahasa Benggala oleh otoritas setempat, namun justru menjadi titik-balik pengakuan resmi bahasa dan aksara Benggala di wilayah sendiri.
Kini, 21 Februari tidak hanya untuk memperingati peristiwa naas sekaligus momentum sejarah itu. Dari kejadian tersebut, penduduk dunia berkaca bahwa setiap manusia berhak menggunakan bahasa ibunya sebagai alat komunikasi untuk kelangsungan hidupnya. Negara sepantasnya menjamin penutur bahasa menerima pelayanan negara dan pendidikan dalam bahasa ibu sebagaimana anjuran UNESCO. Maka dari itu, pengakuan bahasa pribumi sebagai bahasa resmi sejatinya perlu. Setidaknya cara inilah yang banyak diterapkan pada bahasa-bahasa pribumi di berbagai belahan dunia dengan dasar bahwa perbedaan bahasa bukanlah alasan untuk bersikap diskriminatif mendewakan satu bahasa karena keanekaragaman bahasa adalah anugrah.
Mengakui banyak bahasa resmi pun bukanlah tentang menambah hambatan komunikasi. Kita justru didorong untuk saling mengenal dan memahami perbedaan budaya, mengamalkan sejatinya bhinneka tunggal ika, supaya bukan sekadar kita banggakan dan promosikan di negeri orang tapi kasat mata di negeri sendiri. Bukankah mengakui bahasa pribumi sebagai bahasa resmi sama dengan mengakui hak warga negara? Dan bukankah pengakuan resmi tersebut justru akan mendorong bahasa pribumi menjadi signifikan sehingga ada alasan agar ia dikembangkan (bukan berkembang sendiri)? Juga, bukankah ini membuka lapangan-lapangan kerja baru bagi penutur bahasa pribumi karena keahlian dalam bahasa ibu mereka menjadi dibutuhkan? Kita mungkin menjadi tidak perlu khawatir bahasa pribumi akan tergeser dan punah bila ia mampu mengakomodasi komunikasi lisan & tulisan para penuturnya dalam konteks masa kini.
Hingga saat ini, Indonesia hanya mengakui satu bahasa resmi yang sekaligus berperan sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Meskipun status bahasa resmi tidak harus sama dan tidak ada sangkut-pautnya dengan status bahasa nasional, kita masih melestarikan sikap konservatif akan paket monolingualisme untuk keduanya. Di satu sisi, kebanyakan dari kita masih mengimani fobia warisan “Zaman Kegelapan” bahwa tindakan menonjolkan identitas kesukuan dapat mendorong separatisme, dan mengamini stigma serta stereotip yang merugikan bahasa pribumi. Di sisi lain, banyak juga dari kita yang pro bahasa pribumi menuntut kemurnian atau purisme bahasa sehingga mempersulit pengembangan bahasa itu sendiri. Sepanjang sejarah bahasa, tidak ada bahasa yang murni. Dibandingkan dengan negara China, India, Rusia, bahkan Zimbabwe kita memang kalah dalam hal pengakuan kebinékaan bahasa. Indonesia sebaiknya segera berbenah diri selama bhinneka tunggal ika masih erat di kaki Garuda Pancasila. Bertindak progresif untuk kelangsungan hidup bahasa-bahasa ibu pertiwi penting adanya sebelum terlambat, agar ibu pertiwi tidak menanggung malu di hadapan dunia. Jayāstu.
Jika bahasa adalah tempat tersimpannya pengetahuan kolektif masyarakat penuturnya yang dibangun sepanjang masa, maka kemusnahannya adalah kehilangan ilmu pengetahuan yang tak ternilai.
Sebelum Anda beranjak lebih jauh, kami ingatkan, tulisan ini panjang dan serius.
[caption id="" align="aligncenter" width="720"] Masih mampukah Anda membaca dan menulis dalam bahasa ibu Anda?[/caption]
Selamat Hari Bahasa Ibu! Hari ini, 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu. Walaupun di Indonesia Hari Bahasa Ibu belum sefénoménal Hari Kasih Sayang seminggu yang lalu, Indonesia sesungguhnya sadar ia membutuhkannya.
Sebagaimana namanya, Hari Bahasa Ibu yang digagas oleh UNESCO ini mengangkat tema bahasa ibu (mother tongue). Pada hari ini, penghuni bumi diajak mêlèk akan pentingnya menjaga keanekaragaman bahasa dan budaya sejagat melalui ajakan pelestarian dan pelindungannya.
Ada 7.000-an (7.102 bahasa menurut Ethnologue per 2015) bahasa di dunia yang masih hidup sampai saat ini. Diperkirakan, setengah angka tersebut adalah jumlah bahasa yang akan bertahan hingga tahun 2100. Dengan laju satu bahasa punah setiap dua minggu, itu artinya 3500-an bahasa akan pupus seiring bergulirnya waktu menuju akhir abad ke-21.
Pelestarian Bukanlah Pembiaran
Saat ini 719 bahasa pribumi menjadi bahasa ibu penduduk Indonesia. Angka ini mencerminkan sekitar 10% total bahasa di dunia dan membawa Indonesia ke peringkat kedua sebagai negeri dengan jumlah bahasa pribumi terbanyak di dunia, setelah Papua Nugini. Namun demikian, lepas dari betapa kayanya negeri ini akan bahasa pribumi, UNESCO mencatat sudah ada 143 bahasa masuk dalam kategori mengkhawatirkan. 10 diantarnya bahkan sudah punah. Bahasa (1) Hukumina, (2) Kayeli, (3) Mapia, (4) Moksela, (5) Naka'ela, (6) Nila, (7) Palumata, (8) Piru, (9) Tandia, dan (10) Te'un adalah jajaran bahasa asli Indonesia yang sudah "tertidur" bersama penutur-penutur terakhirnya yang berusia senja. Dalam kasus bahasa-bahasa ini, regenerasi penutur fasih gagal sehingga terjadi kepunahan apalagi tidak dibarengi tradisi tulis.
Kenyataan ini juga semakin memedihkan karena kecenderungan pihak yang memiliki otoritas melestarikan bahasa adalah menganggap pelestarian bahasa sama dengan membiarkan bahasa berkembang sendiri. Pengembangan dan pemertahanan bahasa pribumi belum menjadi keutamaan padahal konsep-konsep baru terus masuk ke dalam negeri ini, dan untuk bertahan bahasa harus mampu dituliskan. Sebagian besar bahasa pribumi Indonesia masih dibiarkan sebagai bahasa lisan dan belum memiliki ejaan baku untuk tata tulisnya. Peradaban-peradaban besar di dunia bermula dari tradisi tulis, bukan?
Tanpa tindakan progresif, 709 bahasa-bahasa pribumi sisanya sama saja sedang menunggu ajalnya tiba. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk bahasa-bahasa berpenutur besar sekalipun seperti bahasa Jawa, yang sudah menunjukkan gejala tergeserkan oleh bahasa yang lebih menguntungkan secara ekonomi (Cohn & Ravindranath 2014: 138). Sebuah kenyataan bahwa bahasa Jawa dan bahasa-bahasa pribumi umumnya tak memiliki signifikansi di wilayahnya sendiri adalah yang mendorong tergesernya bahasa-bahasa ini dari komunikasi sehari-hari. Orang tidak akan merasa berkewajiban berbahasa pribumi jika itu memang tidak signifikan bagi mereka, apalagi bahasa lain sudah menggurita menawarkan masa depan prospektif.
Mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika
Kembali ke Hari Bahasa Ibu, hari peringatan ini tidak hadir begitu saja. Ia lahir atas keprihatinan akan terpinggirkannya bahasa pribumi akibat dominasi bahasa lain. UNESCO mengangkat tanggal 21 Februari dari peristiwa tahun 1952 di Bangladesh. Saat itu mahasiswa berbagai universitas memperjuangkan hak-hak berbahasa agar bahasa dan aksara Benggala menjadi alat komunikasi resmi di wilayah Bangladesh. Kala itu hanya bahasa dan aksara Urdu (asli Pakistan) yang diakui resmi oleh negara sedangkan bahasa dan aksara pribumi Bangladesh hampir-hampir tidak berperan dalam urusan formal di wilayahnya. Peristiwa ini berujung ditembakmatinya para pendukung bahasa Benggala oleh otoritas setempat, namun justru menjadi titik-balik pengakuan resmi bahasa dan aksara Benggala di wilayah sendiri.
Kini, 21 Februari tidak hanya untuk memperingati peristiwa naas sekaligus momentum sejarah itu. Dari kejadian tersebut, penduduk dunia berkaca bahwa setiap manusia berhak menggunakan bahasa ibunya sebagai alat komunikasi untuk kelangsungan hidupnya. Negara sepantasnya menjamin penutur bahasa menerima pelayanan negara dan pendidikan dalam bahasa ibu sebagaimana anjuran UNESCO. Maka dari itu, pengakuan bahasa pribumi sebagai bahasa resmi sejatinya perlu. Setidaknya cara inilah yang banyak diterapkan pada bahasa-bahasa pribumi di berbagai belahan dunia dengan dasar bahwa perbedaan bahasa bukanlah alasan untuk bersikap diskriminatif mendewakan satu bahasa karena keanekaragaman bahasa adalah anugrah.
Mengakui banyak bahasa resmi pun bukanlah tentang menambah hambatan komunikasi. Kita justru didorong untuk saling mengenal dan memahami perbedaan budaya, mengamalkan sejatinya bhinneka tunggal ika, supaya bukan sekadar kita banggakan dan promosikan di negeri orang tapi kasat mata di negeri sendiri. Bukankah mengakui bahasa pribumi sebagai bahasa resmi sama dengan mengakui hak warga negara? Dan bukankah pengakuan resmi tersebut justru akan mendorong bahasa pribumi menjadi signifikan sehingga ada alasan agar ia dikembangkan (bukan berkembang sendiri)? Juga, bukankah ini membuka lapangan-lapangan kerja baru bagi penutur bahasa pribumi karena keahlian dalam bahasa ibu mereka menjadi dibutuhkan? Kita mungkin menjadi tidak perlu khawatir bahasa pribumi akan tergeser dan punah bila ia mampu mengakomodasi komunikasi lisan & tulisan para penuturnya dalam konteks masa kini.
Sebelum Terlambat
Hingga saat ini, Indonesia hanya mengakui satu bahasa resmi yang sekaligus berperan sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Meskipun status bahasa resmi tidak harus sama dan tidak ada sangkut-pautnya dengan status bahasa nasional, kita masih melestarikan sikap konservatif akan paket monolingualisme untuk keduanya. Di satu sisi, kebanyakan dari kita masih mengimani fobia warisan “Zaman Kegelapan” bahwa tindakan menonjolkan identitas kesukuan dapat mendorong separatisme, dan mengamini stigma serta stereotip yang merugikan bahasa pribumi. Di sisi lain, banyak juga dari kita yang pro bahasa pribumi menuntut kemurnian atau purisme bahasa sehingga mempersulit pengembangan bahasa itu sendiri. Sepanjang sejarah bahasa, tidak ada bahasa yang murni. Dibandingkan dengan negara China, India, Rusia, bahkan Zimbabwe kita memang kalah dalam hal pengakuan kebinékaan bahasa. Indonesia sebaiknya segera berbenah diri selama bhinneka tunggal ika masih erat di kaki Garuda Pancasila. Bertindak progresif untuk kelangsungan hidup bahasa-bahasa ibu pertiwi penting adanya sebelum terlambat, agar ibu pertiwi tidak menanggung malu di hadapan dunia. Jayāstu.
Glosarium
- bahasa ibu | mother tongue / native language: bahasa yang dikuasai anak pertama kali, yang digunakan oleh orang tua kepada anak, biasanya merupakan bahasa pribumi.
- bahasa pribumi | indigenous language: bahasa yang dituturkan penduduk asli suatu wilayah, di Indonesia lebih umum disebut bahasa daerah.
- bahasa daerah | regional language: dalam pengertian global, bahasa yang diakui memiliki status resmi di wilayah terbatas dalam suatu negara.
Pranala dan Bacaan
- Cohn, Abigail C. dan Maya Ravindranath. “Local Languages in Indonesia: Language Maintenance and Language Shift.” Linguistik Indonesia 32.2 (2014): 131-148.
- Nuwer, Rachel. 2014. Languages: Why we must save dying tongues?
- Wallace, Lace. 2009. What's Lost When A Language Dies?
- Wiecha, Karin. 2013. New Estimates on the Rate of Global Language Loss
- Wurm, Stephen A. “The Language Situation and Language Endangerment in The Greater Pacific Area.” Language Death and Language Maintenance: Theoretical, Practical and Descriptive Approaches, Janse & Tool eds. 2003. 15-47.
- Video: What does the world lose when a language dies?
- International Mother Language Day 2016: Quality education, language(s) of instruction and learning outcomes (UNESCO)
Komentar
Posting Komentar