Jatuh Bangun demi "Ich Liebe Dich"
Penafian:
Tulisan ini merupakan tujuh besar dari lomba penulisan "Pengalamanku Belajar Bahasa Kedua"
Tulisan ini tidak diubah atau disunting ulang oleh Cerita Bahasa dan berlisensi CC-BY-NC-SA 4.0
Oleh: Alifia
Aku wong Jowo. Lahir dan besar di Jawa Timur membuat saya dapat menguasai bahasa Jawa meskipun belum ahli memahami aksaranya. Bahasa ini saya gunakan sejak kecil untuk berkomunikasi dengan keluarga, warga lokal bahkan dengan masyarakat lain provinsi di Jawa. Selain bahasa Jawa, saya tentu akrab dengan Bahasa Indonesia melalui buku dan majalah anak-anak. Bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi saya dengan semua orang di negeri ini. Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah merupakan satu paket alat komunikasi penting dan keduanya menunjukkan identitas diri. Meskipun demikian, saya masih tertarik mempelajari bahasa lain.
Bahasa Jepang merupakan bahasa asing yang berhasil mencuri perhatian saya melalui anime yang di tayangkan di televisi. Setiap akhir pekan, saya yang masih berseragam merah putih kala itu, duduk anteng di depan televisi dari pagi hingga siang demi menonton anime kesukaan. Saya pun berusaha mempelajari bahasa Jepang dan budayanya melalui anime dan korespondensi dengan Kedutaan Jepang di Indonesia. Sayangnya kemampuan Bahas Jepang saya tidak mengalami peningkatan, hanya sebatas mengucap salam saja. Akhirnya saya bertekad, “Selepas SMA saya akan kuliah sastra Jepang”. Mengapa bukan Bahasa Inggris? Karena menurut saya ketika itu, Bahasa Inggris yang saya kenal sejak Sekolah Dasar akan terus saya pelajari seiring berkembangnya waktu dan sudah terlalu banyak yang mempelajarinya, saya hanya ingin sesuatu yang beda. Ya, Bahasa Jepang!
Menjelang kelulusan MAN—setingkat SMA—saya justru beralih haluan. Saya tidak lagi mengejar kuliah Sastra Jepang, melainkan belajar bahasa ibu negara produsen mobil BMW, yakni Jerman. Perpindahan hati ini berawal dari sebuah gambar bangku di tepi sungai Rhein di musim gugur yang ada dalam sebuah buku di perpustakaan sekolah. Saya langsung takjub dibuatnya, entah mengapa, namun menurut saya yang buta luar negeri, gambar tersebut menunjukkan indahnya negara yang berjuluk der Panzer tersebut. Gambar itu selalu terngiang dalam benak saya bersama mimpi untuk dapat melihat sungai Rhein secara langsung, hingga saya memutuskan untuk mengambil jurusan Bahasa Jerman di salah satu Universitas Negeri di Malang melalui jalur UMPTN, yakni jalur ujian nasional untuk masuk Universitas. Saya yang nihil informasi sangat percaya diri dengan keputusan tersebut, meskipun tidak mengenal kosa kata Bahasa Jerman kecuali, liebe (cinta) seperti yang tertera di buku tersebut.
Kepedean saya langsung turun drastis ketika nama saya tertera di pengumuman lulus ujian dan mulai mengikuti perkuliahan. Saya baru tahu, ternyata Bahasa Jerman lebih susah dari Bahasa Inggris. Saat itu benar-benar belajar seluk beluk Bahasa Jerman dan budayanya mulai dari nol. Ironi ketika melihat kenyataan bahwa mayoritas teman lain sudah menerima pelajaran Bahasa Jerman ketika masih SMA di kelas bahasa. Apalah saya yang alumni IPS ini ketika belajar bahasa asing? Tak ubahnya seperti seekor semut kecil. Saya sangat syok dan tidak tahu harus bagaimana, mengingat kosa kata yang asing di telinga, membaca tulisan yang tidak sama dengan cara membacanya, mempelajari budaya yang jauh berbeda dengan Indonesia, lengkap sudah, saya melambaikan tangan untuk menyerah. Apalagi ketika nilai hasil semester pertama keluar, saya sudah dapat menduga hasilnya. Ya, ada mata kuliah yang tidak meluluskan saya. Terpuruk, demikian keadaan saya saat itu. Saya pun merefleksi diri, oke, saya tidak memiliki bakat belajar bahasa ini, saya harus segera pergi dan mencari hal lain yang saya sukai. Saya mencoba bertahan hingga semester dua untuk dapat mengikuti ujian UMPTN lagi.
Semester dua hampir berakhir, ternyata saya menemukan ada satu mata kuliah yang menyenangkan bagi saya, yaitu mengenai budaya Jerman. Ya, meskipun saya pernah tidak lulus sebelumnya. Hanya karena budaya itu, saya mengurungkan niat mengikuti UMPTN lagi dan berjuang dengan jurusan yang sudah saya ambil ini. Semester demi semeter terlewati, apa kabar tingkat penguasaan bahasa Jerman saya? Cukuplah, yang terpenting tidak ada lagi mata kuliah yang tidak meluluskan saya. Saya sadar, saya memang bukan ahli bahasa, namun justru itulah yang membuat saya untuk terus belajar dari berbagai sumber. O iya, jaman saya kuliah dulu tidak seperti sekarang, dimana banyak sumber belajar dapat ditemukan di internet. Pada saat itu, sumber belajar saya hanyalah dari dosen dan buku pegangan, mencari materi di internetpun amat sangat terbatas.
Nilai saya dari semester ke semester memang menunjukkan peningkatan, sayangnya sangat tidak signifikan. Penguasaan bahasa terbatas pada penggunaan untuk bergosip mengenai harga barang yang mahal antar teman saja. Demi memperbaiki kemampuan bahasa, akhirnya saya memutuskan untuk menulis skripsi dalam bahasa Jerman (saat itu skripsi boleh ditulis dalam Bahasa Indonesia). Menulis skripsi dalam Bahasa Jerman yang musykil bagi saya adalah sebuah lecutan, meskipun beberapa teman menyangsikan dan terkesan meremehkan. Jangan salah, saya sendiri sebenarnya juga sanksi. Keinginan menulis skripsi dalam bahasa Jerman melecut saya untuk lebih keras belajar bahasa ini. Bagaimana caranya? Dengan langsung belajar bahasa pada pengguna bahasa aslinya, iya, masyarakat Jerman. Karena pada saat itu beasiswa untuk mengerjakan skripsi masih jarang, kalaupun ada, secara sadar saya sudah pasti tidak diterima, akhirnya saya mengikuti sebuah program Au-pair semacam pertukaran budaya dimana kita dapat tinggal dengan keluarga asuh.
Sambil menyelam minum kopi, saya tidak hanya pergi ke Jerman selama satu tahun untuk belajar bahasa dan bekerja, namun juga untuk mengerjakan skripsi karena tema yang saya ambil terkait budaya Jerman dan subyeknya merupakan peserta Aupair. Dengan susah payah saya mendapatkan keluarga asli Jerman, saya sangat bersyukur karena mereka pasti akan menggunakan bahasa Ibu dalam komunikasi sehari-hari dan paham betul dengan budayanya. Sesampainya saya memulai hidup di negara asing, seketika itu pula saya terkena gegar budaya. Semua hal sangat berbeda dari Indonesia, terutama dalam hal komunikasi. Saya harus memasang pendengaran dan penglihatan dengan baik, ya karena saya selalu melihat bibir partner bicara agar dapat mengerti apa yang mereka bicarakan. Ritme berbicara yang cepat membuat saya selalu menajamkan pendengaran. Selain dengan keluarga, saya otomatis juga banyak menggunakan bahasa Jerman untuk berkomunikasi di sekolah dengan guru, teman-teman baru dan semua orang yang saya temui. Selama satu tahun itulah saya dapat belajar banyak hal dari kesalahpahaman dan pengalaman baru yang terjadi dalam satu tahun itu.
Hal yang paling saya ingat saat awal-awal berada di Jerman, saya sangat minim bicara. Hal ini dikarenakan selama saya kuliah, tata bahasa menjadi hal yang diutamakan, padahal saat komunikasi, tata bahasa bukan hal utama melainkan adanya kesamaan maksud antara saya dan partner bicara. Tata bahasa, karenanua saya sempat sangat minim bicara dan itu tidak baik. Dan Alhamdulillah saya dapat melewatinya dan meningkatkan bahasa Jerman saya. Paling tidak sekembalinya saya dari Jerman, saya akhirnya dapat menulis skripsi menggunakan bahasa Jerman, ya meskipun tidak dengan bahasa yang sempurna, namun ada perjuangan didalamnya. Skripsi tersebut menjadi bukti bagaimana jatuh bangunnya saya mempelajari Bahasa Jerman selama enam tahun (karena harus cuti ketika mengikuti program) dan mendapatkan gelar sarjana. Pelajaran berharga bagi saya untuk mempelajari bahasa adalah percaya diri untuk berbicara, jangan terlalu memikirkan tata bahasa karena ketakutan itu justru akan menghambat kemampuan berbahasa asing kita. Ibu asuh Jerman saya sempat mengatakan "bicara saja apapun, salah tata bahasa tidak mengapa, yang penting bisa bicara dulu, nanti tata bahasa lambat laun mengikuti". Ah, enam tahun rasanya cukup bagi saya untuk menyatakan, “Ich liebe Dich, Deutch!”(Aku cinta kamu, Bahasa Jerman!)
Komentar
Posting Komentar