Multilingual
Penafian:
Tulisan ini merupakan tujuh besar dari lomba penulisan "Pengalamanku Belajar Bahasa Kedua"
Tulisan ini tidak diubah atau disunting ulang oleh Cerita Bahasa dan berlisensi CC-BY-NC-SA 4.0
Oleh: Mega Styarini
Hai. Perkenalkan nama saya Mega. Tapi terkadang saya memanggil diri saya sendiri dengan sebutan A Gem yang berarti Permata. Kata “A Gem” sendiri saya temukan saat saya mengeja nama saya dari belakang. Dan saya akan membagikan pengalaman saya saat mempelajari bahasa baru.
Pada saat saya duduk di kelas 7 SMP saya mengikuti tes IQ. Hasil dari tes tersebut tidak terlalu besar, saya hanya mendapat predikat “Normal”. Dan saat saya perhatikan kembali, saya mendapat skor yang paling tinggi di bidang bahasa. Jika saya tengok ke belakang (masa kecil), saya memang sudah terbiasa menggunakan 3 bahasa, yakni bahasa Indonesia, Jawa dan bahasa orang Kalimantan yang mereka sebut dengan bahasa Mendawai.
Saya terlahir dari keluarga asli Jawa, baik bapak dan juga ibu. Dan saya sendiri dilahirkan di kota Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Saat saya masih kecil, orang tua saya mengajarkan saya menggunakan bahasa Indonesia. Lalu saat saya berumur 4 tahun, saya dipindahkan ke Jawa. Dan saya mulai mempelajari bahasa Jawa dari orang-orang sekitar dan juga guru TK saya.
Pada saat saya kelas 3 SD. Orang tua saya mengajak saya untuk pindah sekolah ke Pangkalan Bun kembali. Dan saya mau tidak mau harus beradaptasi dengan suasana baru, teman baru dan tentunya bahasa baru. Pada awalnya saya merasa aneh. Dan saya masih ingat, kata pertama yang saya pelajari adalah “Hurup”. Pertama kali saya mendengar kata “Hurup”, saya kira saya disuruh menuliskan huruf. Tetapi dugaan saya salah, ternyata kata “Hurup” tersebut memiliki arti “Ditukar”. Selain kata tersebut, masih banyak kata-kata lain yang saya pelajari hari demi hari.
Dan jika ada yang bertanya, apa manfaatnya apabila saya bisa berbahasa Mendawai?. Saya akan menjawabnya dengan nyeleneh. Menurut saya, manfaat yang bisa saya ambil jika saya bisa berbahasa Mendawai adalah saya bisa menikmati kartun Upin dan Ipin tanpa melihat translate-nya. Mungkin, ada beberapa orang yang hanya bisa bahasa Indonesia saja lalu sanggup memahami dialog Upin dan Ipin. Tapi menurut saya, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia itu masih banyak perbedaannya. Sedangkan jika dibandingkan dengan bahasa Mendawai yang saya dengar, sepertinya lebih banyak kosa kata yang mirip.
Setelah itu, selain saya belajar bahasa Mendawai. Saya juga belajar si bahasa internasional, apalagi kalau bukan bahasa Inggris. Pada saat saya SMP saya sangat giat sekali mempelajari bahasa Internasional tersebut. Dan alhamdulillah, saat Ujian Nasional (UN) nilai yang paling tinggi yang saya miliki adalah bahasa Inggris. Saya mendapat nilai 9,6. Dan disusul oleh bahasa Indonesia yang mendapat nilai 8,7. Terpaut lumayan jauh memang. Tapi kalau menurut saya, wajar jika bahasa Indonesia mendapat nilai seperti itu. Karena soal bahasa Indonesia terkadang menjebak. Hehehe.
Di saat saya SMP juga musik dari negeri ginseng mulai Booming. Dan saya juga ikut menjadi salah satu yang tertular oleh virus bernama K-POP tersebut. Alhasil, saya pun tertarik untuk mempelajari bahasa Korea. Sampai saat ini saya pun masih berusaha untuk meningkatkan bahasa Korea saya tanpa les privat atau sejenisnya. Saya hanya bermodal acara-acara variety show Korea denga cara mengikuti pengucapan kalimat-kalimat yang ada. Dan saya juga sudah hafal huruf Hangul di luar kepala. Jadi saat saya menonton acara variety show tersebut, saya juga bisa membaca tulisan-tulisan yang juga ikut tertera di layar.
Kemudian saat saya memasuki dunia SMA. Saya memutuskan untuk memilih sekolah swasta yang bernuansa Islami. Karena saat itu orang tua saya menyuruh saya untuk tidak mencari sekolah yang terlalu jauh dari rumah. Alhasil saya masuk di SMA yang sampai sekarang masih saya singgahi tiap harinya (kecuali hari jum’at).
Di sekolah yang bernuansa Islami ini, awalnya saya sudah bisa menebak pasti akan ada pelajaran bahasa Arab. Dan ternyata benar. Kesan pertama saat saya merasakan belajar bahasa Arab adalah minder. Karena, seluruh teman-teman sekelas saya telah mendapat materi bahasa Arab di SMP bahkan di MI mereka masing-masing. Sedangkan saya? Belum pernah.
Pada saat awal-awal saya mengikuti ujian bahasa Arab di kelas 10. Saya selalu mendapat nilai merah. Nilai terendah yang saya dapat adalah 48. Tetapi pada akhirnya, saya mendapat hidayah. Saya menyemangati diri saya sendiri. Jika saya tidak bisa mahir bahasa Arab, setidaknya saya tidak pernah ikut remedi saat ulangan. Kini alhamdulillah, saya tidak pernah ikut remidi lagi. Dan nilai bahasa Arab saya bisa diatas 85.
Jadi jika di total berapa bahasa yang saya pelajari, kira-kira ada 5 bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, sedangkan ke 5 bahasa itu adalah bahasa Jawa, Mendawai, Inggris, Korea, dan Arab. Dan karena memang pada dasarnya saya suka mempelajari bahasa yang berbeda. Jadi, jika ditanya bahasa apa lagi yang saya ingin pelajari?, saya akan menjawab Thailand, Mandarin serta Perancis atau mungkin Belanda.
Reblogged this on why so serious, sir?.
BalasHapus